Kemarau panjang seperti yang kita alami sekarang merupakan tantangan iklim yang harus dihadapi. Kemarau panjang menyebabkan tanah kering, air sulit didapat dan sungai mengering sementara angin berhembus menerbangkan debu-debu jalanan. Tantangan iklim berupa kelangkaan hujan akibat kemarau panjang sebenarnya dapat diatasi dengan melakukan teknologi tinggi hujan buatan. Tetapi cara ini tak bisa terus dilakukan sembarangan karena biaya yang terlampau mahal. Hujan buatan hanya ditempuh bila keadaan memang demikian kritis. Apalagi usaha untuk melakukan hujan buatan ini terkadang hasilnya tak sesuai dengan yang diharapkan.
Baca Juga: 5 Fakta Menarik Tentang Asap
Sejarah hujan buatan dimulai pertama kali pada tahun 1946 oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir yang sekaligus menjadi penemu pertama, dilanjutkan oleh Bernard Vonnegut setahun kemudian pada tahun 1947.
Hujan buatan sendiri bukan benar-benar menciptakan hujan, tetapi sebenarnya adalah menciptakan kemungkinan peluang hujan atau mempercepat terjadinya hujan. Hujan buatan merupakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan cara mempengaruhi proses yang terjadi di awan sebagai cikal-bakal hujan sehingga mempercepat peluang terjadinya hujan.
Hujan buatan dibentuk dengan cara menaburkan bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) pada awan sehingga proses pembentukan butir-butir hujan di dalam awan akan meningkat yang selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan. Jenis awan Cumulus (Cu) adalah jenis awan yang biasanya digunakan untuk membuat hujan buatan yang bentuknya menyerupai bunga kol.
Selanjutnya setelah lokasi awan diketahui, pesawat akan terbang dengan membawa bubuk khusus (bahan yang bersifat higroskopik) menuju awan. Bubuk khusus terdiri dari zat glasiogenik berupa perak Iodida yang berfungsi sebagai pembentuk es. Selain itu pesawat juga membawa bubuk untuk menggabungkan butir-butir air di awan yang bersifat higroskopis seperti garam dapur atau Natrium Chlorida (NaCl), atau CaCl2 dengan bubuk Urea.
Penyebaran bubuk urea dilakukan beberapa jam setelah penyebaran garam atau setelah terbentuk awan-awan kecil secara berkelompok pada beberapa tempat. Bubuk urea selain dapat membentuk awan lebih lanjut, tetapi juga bersifat endotermi (menyerap panas) yang sangat baik bila bereaksi dengan air atau uap air. Penyebaran bubuk urea pada siang hari dapat membantu mendinginkan lingkungan sekitarnya sehingga kelompok-kelompok awan kecil segera bergabung menjadi kelompok-kelompok awan besar.
Setelah terbentuk kelompok awan besar biasanya akan segera terlihat awan kehitam-hitaman, artinya awan hujan telah terbentuk. Lalu tindakan selanjutnya adalah menyebarkan larutan atau zat yang berkomposisi air, urea dan amonium nitrat dengan perbandingan 4 : 3 : 1 ke dalam kelompok-kelompok besar awan yang tampak hitam. Besarnya larutan yang disebarkan antara 50 u - 100 u dengan menggunakan peralatan mikron air yang terpasang di pesawat. Larutan tersebut cukup dingin yaitu sekitar 4° C, yang akan mengikat awan dan mudah meresap ke dalamnya, sehingga dapat menstimulus pembentukan butir-butir air yang lebih besar karena berat butir-butir air tersebut akan turun dan menimbulkan hujan.
Untuk bisa membentuk hujan deras, biasanya dibutuhkan bubuk khusus sebanyak 3 ton yang ditabur ke awan Cumulus selama kurang lebih 30 hari, setelah itu biasanya hujan akan mulai turun. Proses pembuatan hujan buatan ini belum tentu berhasil. Bisa saja terjadi kegagalan atau malah hujan buatannya jatuh di tempat yang tidak ditentukan sebelumnya, padahal sudah memakan biaya yang tidak sedikit dalam pembuatannya. Oleh karena itu arah angin, kelembaban dan tekanan udara harus diperhatikan dalam penyebaran bibit hujan.
0 komentar
Posting Komentar